Senin, 29 Agustus 2011

TUGAS RESUME USHUL FIQH, Hukum Taklifi dan Wadh'i


MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
Islam, sebagai agama samawi memiliki aturan-aturan hukum yang mengikat penganutnya untuk mematuhi perintah dan larangan yang telah ditentukan di dalamnya. Hal ini sesuai demi meningkatkan kwalitas hidup seorang hamba dalam pengabdiannya kepada Tuhannya YME ( vertical ), dan kwalitas kehidupan social bermasyarakat ( horizontal ). Pada dasarnya, pensyari’atan hukum –hukum tersebut hanya berlaku pada tindakan praktis para muslim dewasa ( baligh ), baik selaku pribadi ( aturan yang berkait dengan budi pekerti ) maupun masyarakat. Akan tetapi ada tiga golongan orang yang terlepas dari ikatan ini, yaitu orang yang tertidur, anak kecil dan orang gila.
Adapun bidang-bidang yang termasuk dalam aturan hukum islam, yaitu :
1.       Hubungan manusia dengan penciptanya
Termasuk di dalamnya adalah ibadah mahdloh ( ibadah qosihirah ) yang mencakup rukun islam yang lima dan rukun iman yang enam. Mahdloh artinya ibadah yang semata-mata karena Alloh sebab hanya terbatas pada lingkup pengabdian seorang kepada sang Kholik ( qoshiroh ) sebagai refleksi dari pengakuan yang telah diikrarkan dari awal sholat, “ sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh sang penguasa alam”.
2.       Hubungan manusia dengan sesamanya ( Mu’amalah )
Mu’amalah artinya pergaulan, yaitu hubungan antar manusia dalam social bermasyarakat, sebagaimana adat orang arab mengatakan “ Agama itu pergaulan “ dan sabda Nabi SAW, “ Sebagaimana kamu bergaul, begitu pula kamu dipergauli “. Islam sangat menjunjung tinggi terciptanya kemaslahatan manusia sebagai tujuan pokok dari pensyari’atan hukum. Hal ini mencakup lima point penting, yaitu : Memelihara kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa raga, kemaslahatan akal manusia, kemaslahatan perkembangan keturunan manusia, dan memelihara kemaslahatan harta benda.
Secara umum, aturan hukum dalam syariat islam terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi ( hukum untuk penugasan ) dan hukum wadh’i ( hukum kondisional ). Kedua macam hukum ini akan penulis urai dalam pembahasan berikut ini.
A. HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan atau pekerjaan. Untuk contoh yang sederhana adalah shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji jika telah mampu, tidak boleh mencuri, tidak boleh membenci orang dan sebagainya. Dari ketiga pilihan di atas, para ahli ushul fiqih membagi lagi hukum taklifi menjadi lima kategori, yaitu :
1.      Wajib
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Seperti sholat lima waktu, zakat Fitrah, zakat mal, puasa wajib dan lain-lain. Selanjutnya, wajib ini terpilah lagi menjadi Sembilan criteria yang masing-masing memiliki peran dan ketentuan yang berbeda.
a.       Wajib Mu’ayin (Mukhaddat) : hukum yang sudah jelas dan tentu aturan dan tata-caranya serta seberapa besar kadar-nya, misal : Sholat,Zakat,dll
b.       Wajib Ghoiru Mukhaddat : hukum yang tidak jelas tata caranya dan seberapa besar jumlah dan kadarnya, misal infaq, sodaqah, dll
c.       Wajib Mukhoyir : hukum yang harus memilih dari beberapa pilihan dan jika sudah terpilh dan dilaksanakan maka yang lain dianggap hilang.
d.       Wajib Mudloyaq (Muaqqot) : hukum yang sudah jelas syariatnya (hampir sama dengan Mu’ayin) hanya disini berdasarkan aturan pelaksanaan, misal : jadwal sholat, jadwal puasa.
e.       Wajib Mutlak : hukum  yang aturan pelaksaannya tidak ditentukan dengan pasti,tapi wajib dikerjakan seperti : naik haji
f.        Wajib Yunaqqis : hukum yang mengatur aturan syariat bagi yang berhalangan melaksanakan kewajiban, misal wanita haid yang wajib melaksanakan sholat setelah haid berhenti secara langsung, misal ashar jam 3 dan mahgrib jam 5.30, dan wanita haid berhenti jam 5, maka sisa 30 menit adalah wajib sholat (wajib Yunaqqis).
g.       Wajib Muwasi : hukum yang mengatur kelebihan waktu, tapi tetap harus dikerjakan dalam kurun waktu tersebut, misal waktu sholat ashar 2,5 jam tepatnya jam 3 hingga 5.30, sedangkan lama sholat misalnya 20 menit, maka sisa 2,1 jam adalah wajib muwasi, dimana toleransi waktu tersebut dikhususkan kepada kita yang sedang berhalangan tanpa disengaja.
h.       Wajib Ain : hukum yang meng-khususkan siapa yang melaksanakannya, sesuai syariat misal sholat jum’at adalah wajib buat kaum laki-laki, sunnah buat kaum perempuan.
i.         Wajib Kifayah : hukum yang tidak meng-khususkan siapa pelaksananya sesuai syariat dengan kata lain wajib dilaksanakan untuk umum, misal memandikan jenazah, bila satu muslim mengerjakan maka yang lain tidak wajib memandikan, namun bila tidak ada satu-pun yang memandikan, maka semua penduduk menanggung dosa.
2.     Sunnah
Adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan tidak akan mendapat apa-apa. Seperti sholat sunnah, puasa senin-kamis, infaq, dll. Terbagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.       Sunnah Hadyi, yaitu hukum sunnah sebagai penyempurna hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. Contoh adzan, sholat berjamah dan lain-lain.
b.       Sunnah Zaidah, yaitu hukum sunnah yang dikerjakan  sebagai sifat terpuji bagi muslim karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. Seperti makan, minum, tidur dll.
c.       Sunnah Nafal, yaitu hukum sunnah sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. Seperti sholat sunnat.
d.       Sunnah Muakad, yaitu hukum sunnah yang dianggap mendekati hukum wajib, misal sholat tarawih, sholat idul fitri, sholat idul adha, dll.
3.     Halal dan Haram
Halal, Sesuatu hal yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah sesuatu hal yang tidak diperbolehkan. Biasanya yang terkait dalam hal ini adalah makanan seperti darah, bangkai binatang darat, babi, anjing, dan beberapa makanan yang dianggap oleh MUI  atau tokoh ulama indonesia haram. Haram terbagi menjadi dua criteria, yaitu :
a.       Haram mutlak, yaitu hukum yang mengatur apa saja yang dilarang sesuai al-Qur’an dan al-Hadits seperti zina, mencuri, berjudi, makan makanan yang dilarang oleh agama.
b.       Haram ghoiru, yaitu hukum yang mengatur apa saja yang dilarang dari asal atau akhir hal tersebut diperoleh. Misal, amal dimasjid tapi hasil mencuri, makan makanan halal tapi hasil dari korupsi, atau amal baik yang dipamerkan (riak).
4.     Makruh
Sesuatu hal yang dikerjakan tidak mendapat apa-apa namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Misalnya, orang yang diam lebih baik dari pada orang yang banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
5.     Mubah
Sesuatu hal yang dikerjakan atau tidak dikerjakan  tidak mendapat apa-apa , seperti mandi, makan, minum, dll.
B.HUKUM-WADH’I
Yaitu hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh, hukum waris. Berdasarakan penelitian di peroleh ketetapan, bahwasannya hukum wadh’i  adakalanya menghendaki untuk menjadi suatu syarat bagi sebab sesuatu yang lain atau menjadi penghalang atau menjadi pemboleh adanya rukshah ( keringanan hukum ) sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau tidak sah. Hukum jenis wadh’i terbagi menjadi lima kategori, yaitu :
1.     Sebab
Sebab ialah sesuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musababnya dengan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabah dengan ketiadaannya. jadi, dari keberdaan sebab , maka di tetapakan adanya musabab dan dari ketiadaan sebab itu di tetapkan ketiadaannya. dengan demikian, sebab merupakan hal yang zhahir ( nyata ) dan pasti yang di jadikan oleh syar’i sebagai alamat atas hukum syara’, yaitu musababnya. Dari keberadaan sebab itu, di peroleh ketetapan keberadaan musaba, dan dari ketiadaannya, maka di peroleh ketetapan mengenai ketiadaan musabab itu.

Macam-macam sebab :
Sebab, terkadang menjadi hukum taklifi, seperti waktu yang di jadikan oleh syar’i sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan shalat, karena firman Allah SWT: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”. ( Q.S, Al Isra 78 )

Dan sebagaimana menyaksikan bulan ramadhan, di jadikan syar’i sebagai sebab bagi perwajiban puasa ramadhan, berdasarkan firman Allah SWT : “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tinggalnya ) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S, 2 Al-baqarah:185)

Kadangkala sebab menjadi sebab bagi penempatan kepemilikan, atau halangan, atau menghilangkan kedua-duanya. Sebagaimana jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkannya, talaq untuk menghilangkan kehalalannya, dan wala’ untuk menentapkan hal pewarisan, pengerusakan harta orang lain untuk menetapakan kewajiban mengganti rugi atas orang yang merusakkan, dan persekutuan atau pemilik untuk penetapan hak syuf’ah ( menutup harga barang yang di jual ). Terkadang sebab juga merupakan suatu perbuatan mukallaf yang di kuasainya, seperti pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja menjadi sebab adanya penganiayaan terhadapnya, kadang kala, sebab merupakan hal yang di luar kekuasaan mukallaf dan tidak termasuk perbuatannya, sebagaimana masuknya waktu adalah sebab bagi pewajiban shalat.

2.     Syarat
Syarat ialah suatu yang keberadaan hukumnya tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaanya sesuatu itu di peroleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang di maksudkan adalah keberadaannya secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Syarat merupakan hal yang di luar hakekat sesuatu yang di syaratkan. Ketiadaan syarat menetapkan ketiadaan yang di syaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang di syaratkan. Contohnya adalah,

Wudhu adalah syarat bagi keabsahan mendirikan shalat. Shalat apabila tidak ada wudhu, maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.

Syarat-syarat syar’iyyah adalah yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efek timbul padanya. Misalnya pembunuhan merupakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezaliman.
Pebedaan antara rukun dan syarat sesuatu, masing-masing dari keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum. Bahwasannya rukun merupakan bagian dari hakikat sesuatu, adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakikatnya, dan bukan termasuk bagian-bagiannya. Misalanya ruku’ adalah rukun shalat, karena ia adalah bagian dari hakikat shalat, sedangkan bersuci adalah syarat shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakeket shalat.

3.     Mani’
Adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab. Mani’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih adalah sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat- syaratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya. Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka, meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya. Suatu penghalaang terkadang menjadi mani’ terhadap keberadaan sebab syar’i, bukan timbulnya hukumnya, sebagai utang bagi orang yang memiliki senishab harta zakat. Sesungguhnya hutang itu menghalangi terhadap keberadaan sebab bagi pewajiban zakat atas dirinya, karena harta kekayaan orang yang berhutang seakan-akan bukanlah miliknya dengan suatu pemilikan yang sempurna.

4.     Rukhshah dan ‘Azimah
Rukshah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud memberikan keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang menghendaki keringanan ini.

‘Azimah ialah hukum-hukum umum yang disyariatkan dari semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada suatu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf lainnya.

Macam-macam rukhshah:

Diantara rukshah ialah pembolehan hal-hal yang dilarang dalam keadaan darurat atau kebutuhan. Misalnya, seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan “ kufr” dia diperbolehkan mengucapkan kalimat itu sebagai keringanan, dan hatinya tetap tenang dengan imannya. Rukshah juga membolehkan meninggalkan wajib apabila ada uzur ( alasan ) yan membuat pelaksanaan memberatkan pada mukallaf, barang siapa yang berada dalam keadaan sakit atau berpergian pada bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan berbuka puasa. Para ulama hanafiyah membagi rukhshah kepada dua criteria, yaitu :
Ø  Rukhshah tarfih ( peringanan )
Hukum azimah masih tetap bersamanya dan dalilnya juga mesih tetap. Akan tetapi diberikan rukshah untuk meninggalkanya sebagai suatu peringatan pada mukallaf, mereka mencontohkan hal ini : orang yang dipaksa untuk melafazdkan kata”Kufur”, atau merusak harta orang lain, atau berbuka puasa pada bulan ramadhan.
Ø  Rukshah isqath ( pengguguran )
Hukum azimah tidak lagi bersamanya, bahkan  sesungguhnya keadaan yang mengharuskan peringatan telah  menggugurkan hukum azimah, dan hukum yang disyariatkan adalah rukshah. Mereka mencontohkan perbolehan memakan bangkai atau meminum khamar ketika kelaparan dan kehausan,dan mengqashar shalat dalam perjalanan.

5.     Sah dan batal
Sah menurut syara’ ialah timbulnya berbagai konsekuensi secara syar’iyyah atas perbuatan itu. Jika itu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan perbuatan yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapatkan hukuman didunia, serta mendapatkan pahala di akhirat.

Batal adalah tidak timbulnya konsekuensi yang bersifat syara’. Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah wajib, maka ia tidak gugur darinya dan tanggungannya tidak terbebas darinya.

Bahwasannya perbuatan, sebab dan syarat yang muncul dari mukallaf dan tidak sesuai dengan apa yang di tuntut oleh syar’i atau apa yang disyariatkannya, maka ia tidak sah. Menurut syara’ dan konsekuensi hukumnya  tidak timbul padanya, baik ketidaksahannya tersebut karena rusak pada salah satu rukunya atau ketiadaan salah satu syaratnya, baik perbuatan tersebut adalah ibadah, akad ataupun tindakan hukum.
Setiap perbuatan dan keadaan dalam hukum islam dapat ditentukan hukumnya, perbuatan atau keadaan tersebut ditempatkan di dalam salah satu penggolongan hukum. Perbuatan orang yang dimaksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang menurut istilah disebut mukallaf. Menurut para ahli ushul fiqih, ketaatan pada kedua macam hukum ini adalah wujud kesadaran beragama umat islam. Demikian ringkasan kecil ini saya buat semoga ada guna dan manfaatnya. Wallahu a’lam
Dari berbagai sumber

Kamis, 25 Agustus 2011


MENGENAL KAIDAH FIQIH


A. PENDAHULUAN
Dr.Musthofa al Zarqa’ dalam kitabnya al Madhkol al Fiqhi menulis: “ Seandainya kaidah fiqh tidak ada, maka hukum-hukum fiqih (furu’) akan tetap menjadi ceceran-ceceran hukum yang secara lahir (zhahir) saling bertentangan satu sama lain. Atau dalam istilah lain hukum fiqih antara yang satu dengan lainnya akan saling menampakkan pertentangan pada tataran kasus-kasus tertentu padahal bisa jadi merupakan kasus yang berbeda tetapi mengandung hukum yang sama (setara) atau pun sebaliknya.
Hal yang hampir senada juga dikemukakan oleh al Qarrafi dalam muqadimah al Furuq : “ Barang siapa yang menganalisa furu’ fiqh dengan telaah parsial-partikular (juz’iyyah) tanpa menggunakan kaidah-kaidah universalnya,maka ia akan menemukan banyak perbedaan dan kontradiksi. Hatinya akan gundah gulana memikirkannya sampai ia menjadi putus asa. Dia harus menghafal beragam persoalan yang tak ada ujung pangkalnya, dan umurnya habis sebelum ia sempat memperoleh apa yang diharapkan, tidak akan pernah puas terhadap apa yang diinginkan, bahkan bisa jadi putus asa.
Hukum yang telah jadi (hukum furu’ fiqh) yang merupakan produk hukum yang telah terbentuk sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu yang notabene hasil ijtihad para ulama (bisa benar atau juga kurang tepat) pantas mendapatkan perhatian khusus akan kevalidannya di era sekarang ini. Walaupun kita tahu kebanyakan dari itu masih berstatus relevan hingga saat ini. Namun fiqh di tuntut untuk mengimbangi laju dinamisme kehidupan yang berlari menginggalkan jejak-jejak masalah furu’iyah yang bisa jadi belum ditemukan solusinya. Sedangkan persoalan furu’iyah masa lalu yang telah jelas solusinya (hukumnya) terlalu banyak untuk di hafal, dipahami secara menyeluruh, padahal bisa jadi antara kasus-kasus terdahulu memiliki keterkaitan dengan persoalan kekinian atau memang tidak ada keterkaitannya (hadir persoalan baru). Di sinilah kaidah fiqh memainkan perannya seperti batasan yang telah disampaikan oleh Dr.Musthofa al Zarqa dan al Qarrafi di atas.
Sebagai gambaran, dalam kitab-kitab fiqih konvensional banyak sekali penyebutan tentang hukum perbudakan yang ternyata sulit diaplikasikan di masa sekarang. Kenapa? , karena sistem perbudakan telah dihapuskan sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini tentu akan membingungkan bila kita menggunakan pemahaman parsial-partikular semata,” kenapa islam seolah membela hukum perbudakan ?” atau “ untuk apa belajar hukum perbudakan, toh budaknya sudah tidak ada ? “. Dari sinilah benar apa yang digambarkan oleh al Qarrafi bahwa akan terjadi kontradiksi yang tak ada ujung pangkalnya karena timbulnya keruwetan-keruwetan pikiran yang akan berujung pada perasaan putus asa atau patah semangat.
Juga patut kita sadari akan pernyataan Syaikh Yasin bin Isa al Fadani, jika kita hanya belajar hukum-hukum yang sudah jadi dalam kitab fiqih konvensional, maka berapa waktu yang kita butuhkan, berapa lama kita bisa bertahan, berapa kitab yang harus kita hafal, dan seberapa cerdas memori otak mampu mengolahnya ? Walaupun kita telah mengeluarkan biaya bermiliar-miliar dan menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya, tapi kita masih bertahan dengan metode pembelajaran hukum secara parsial-partikular tanpa disertai prinsip-prinsip dasarnya, maka yang dapat kita kuasai hanya materi hukum yang kebetulan kita pelajari, sementara diluar itu tidak ada yang kita pahami.
Nah, salah satu solusi untuk mengurai “benang kusut” itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syariat. Jadi, selain kita harus mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi (furu’ fiqih), kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substansi hukumnya. Cara satu-satunya untuk mencapai hal itu tidak lain adalah dengan mempelajari kaidah-kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Dengan mengetahui dua jenis kaidah ini, maka kontradiksi hukum yang biasa menghantui perasaan kita tidak akan kita dapati lagi. Sebab pada dua ranah metodologis itu, nilai-nilai esensial syariat terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas dan rasional, sehingga sesuatu yang dulunya kita sangka sebagai pertentangan akan menjadi sirna tetkala kita menelisik konsepsi dua kaidah tersebut.
Yang menjadi persoalan adalah, bisakah seseorang menguasai kaidah ushuliyah secara sempurna sebagaimana yang telah dilakukan para mujtahid masa lalu. Padahal kita tahu, ketentuan untuk menjadi seorang mujtahid paling tidak memahami isi dan kandungan al Qur’an bekaligus asbabun nuzulnya, juga memahami atau bahkan menghafal seluruh hadis-hadist Nabi SAW beserta asbabul wurudnya. Padahal, untuk menguasai kedua sumber hukum suci tersebut memerlukan seperangkat alat guna menggalinya, seperti nahwu-shorof, balaghoh-mantiq, maupun syarat-syarat lainnya. Bahkan bagi kalangan ‘ajam kemampuan bahasa arab dan gramatikalnya sudah merupakan syarat yang cukup berat sedangkan sumber-sumber hukum islam (al quran-hadist) menggunakan bahasa arab.
Lalu, apa yang harus kita lakukakan ? adakah solusi untuk memecahkan kebuntuan tersebut, pada tulisan ini akan kita temukan solusi dari kendala di atas, insya Allah. Pelajari dan pahamilah kaidah-kaidah fiqhiyah (bukan ushuliyah) sebab disamping anda terbebas dari syarat-syarat di atas, maka anda berkesempatan menguasai kaidah-kaidah fiqhiyyah hasil kreasi ijtihad para ulama jika pemahaman itu terus anda perjuangkan.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi kaidah fiqh
Kaidah, dalam etimologi arab mempunyai makna dasar, pondasi, asas atau fundamen segala sesuatu. Bila dalam bahasa arab terdapat kalimat “qowa’id al bayt” , maka yang dimaksud adalah pondasi bangunan. Sedangkan dari tinjauan terminology ada banyak definisi tergantung masing-masing bidang studi. 
Sementara itu dari kalangan fuqoha masih belum sepakat dalam mendefinisikan arti kaidah. Tajuddin al Subuki, memaknai kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh ( kulliyah ) dan merangkum berbagai permasalahan furuiyyah yang tak terhitung jumlahnya, serta berfungsi untuk mengetahui ketentuan hukum pada persoalan serupa. Sedangkan al Hamawi mengartikan kaidah sebagai kerangka hukum mayoritas ( aktsariyah atau aghlabiyah,dan bukan kulliyah ) yang merangkum banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui hukum-hukumnya.
Secara prinsipil, tidak ada perbedaan dari kedua pendapat di atas. Hanya saja berbeda dari segi cakupan objek kulliyah ( universal-komprehenship ) dan aktsariyah ( mayoritas-representatif ). Dalam pembahasan ini penulis sengaja membatasi permasalahan ini, karena akan banyak lembaran yang tercetak.
Kembali lagi pada pembahasan definisi, penulis mengutip dari salah satu referensi yang akan membari kita pencerahan akan definisi qa’idah ( qowa’id ) fiqhiyyah.
Adapun qaidah secara istilah adalah perkara yang menyeluruh ( universal ) yang di kembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak. Maka, makna qaidah adalah sebuah ungkapan yang terdiri dari beberapa kata akan tetapi masuk didalamnya pembahasan yang luas, karena sesunggunya pembahasan inti dari qaidah adalah untuk mengumpulkan cabang-cabang yang berbeda-beda.
2. Dasar kaidah
Ibadah merupakan sarana mendekatkan diri keada Allah SWT. Prakteknya, tentu memerlukan seperangkat persyaratan yang mesti dipenuhi untuk sampai kepada yang di tuju, yaitu Tuhan. Salah satunya adalah niat, ibarat tujuan yang akan dicapai, kanapa mau beribadah, tentu banyak sebab yang melatarbelakanginya. Adakalanya karena ingin kenal Sang pencipta alam raya, atau ingin mendapatkan pahala dan masuk syurga atau hanya sebagai pelampiasan kejenuhan. Hanya Tuhan yang mampu menilai, karena niat ( ikhlas ) dalam ibadah yang menjadi jaminan ibadah itu diterima.
Mengenahi keharusan melakukan niat dalam ibadah, tersebut dalam al Quran surat al-Bayyinah ayat 5.
“ mereka ( orang-orang kafir ) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah ( beribadah ) kepada Allah, seraya memurnikan-ikhlas dalam beragama ( ibadah )”.
Dari ayat di atas dapat diambil penjelasan bahwa ada ketentuan keterkaitan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas dan pengesaan kepada Tuhan semesta alam. Keterkaitan ini mungkin saja tidak akan terkombinasi dengan baik kecuali dilakukan oleh hamba yang ikhlas. Disamping dasar dari al-Quran, hadits nabi juga menyebutkan bahwa niat adalah landasan awal disetiap perbuatan. Sebagaimana tersebut dalam hadits yang sangat popular berikut ini. “ Keabsahan amal-amal tergantung pada niat “.
3. Posisi kaidah fiqh
Dalam kitabnya, al Furuq, Al Qarrafi membagi syariat islam menjadi dua kelompok, yakni ushuliyah (hukum dasar) dan furuiyyah (hukum cabang). Hukum-hukum yang bersifat ushuliyyah adalah sejenis prinsip-prinsip dasar (kaidah-kaidah pokok) atas bangunan hukum syariat. Sedangkan hukum-hukum furuiyyah merupakan “buah” yang dihasilkan dari penerapan prinsip-prinsip dasar tersebut,dan jumlahnya semakin hari semakin bertambah (berkembang) seiring dinamisme problematika kehidupan.
Hukum-hukum ushuliyyah sendiri masih terpilah lagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ushuliyyah (ushul fiqih) dan kaidah fiqhiyyah. Ushul fiqih adalah disiplin ilmu yang menekankan pada ranah kebahasaan (linguistic-semantik) atas dalil-dalil nash (al Quran dan al Hadist), seperti kajian tentang kata perintah (amar), larangan (nahi), kalimat umum (‘am), khusus (khosh), disamping juga mengkaji metode penggalian hukum (istinbath al ahkam), seperti analogi hukum (qiyas), ijma (consensus), syarat-syarat mujtahid dan sebagainya. Studi ushul fiqih inilah yang kemudian menghasilkan produk hukum yang dinamai “fiqih”.
Bagian berikutnya adalah kaidah fiqih,yaitu studi kajian yang menekankan pembahasan pada kerangka-kerangka hukum yang bersifat umum, yang dirumuskan berdasarkan adanya dalil atau kesamaan ‘illat dan karakteristik persoalan. Dengan kata lain, yaitu  sebuah rumusan umum yang terlahir dari beragam persoalan furuiyyah yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illat yang saling bersesuaian dengan dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum dari hasil kesimpulan umum (generalisasi) itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk menelaah persoalan-persoalan lain yang memiliki kesamaan ‘illat. 
4. Fungsi dan manfaat kaidah fiqih
Selain fungsi di atas, yaitu untuk menghindari pemahaman yang kontradiktif kaidah fiqih juga mempunyai kandungan manfaat yang sangat melimpah. Salah satunya adalah sebagaimana yang di ungkapkan oleh Al-Suyuthi bahwa dengan menguasai ilmu kaidah fiqh, maka kita akan mengetahui hakikat fiqh, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya, dan rahasia-rahasia terdalamnya. Selain itu, kita akan mudah mengingat dan menghafal sebuah kaidah, kemudian meng-ilhaq-kan ( penyamaan ), men-takhrij ( mengeluarkan ), serta mengetahui hukum-hukum beragam persoalan actual dari kaidah itu, dimana hukum-hukum tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab fiqih konfensional.
Dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas salah satu contoh kaidah dari qowaidul fiqhiyyah yang sangat umum namun memiliki kandungan makna yang sangat luas adalah “ Al umuuru bimaqoshidiha “ . Kaidah ini termasuk salah satu kaidah yang mempunyai cakupan persoalan universal ( tak terbatas ). Kenapa demikian…….??? mari kita pelajari bersama.
5. Kaidah pokok qowaidul fiqh
“ Al Umuuru Bimaqhasidiah “, segala sesuatu tergantung tujuannya.
Niat merupakan sebuah konsep dasar ( fundamental ) dari seluruh hukum islam yang berkaitan dengan ibadah. Pada dasarnya, niat tertera dalam hati dan berlaku pada tataran ibadah saja. Namun ternyata, penerapannya berlaku untuk segala bidang kehidupan. Salah satu contohnya adalah, kenapa kita makan kalau tidak karena lapar. Tetapi jika makan itu kita niatkan untuk ibadah maka yang terjadi adalah statusnya bernilai ibadah. Kerja  yang disertakan dengan niat ibadah tentu akan lebih bermakna di samping dinilai mendapatkan balasan akherat ( pahala ). 
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”. Al Hadits
6. Definisi niat
Wikipedia menyebutkan, niat adalah maksud atau keinginan kuat di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminology syar’i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya. Aspek niat itu ada tiga hal, yaitu : diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan ( tidak perlu keras sehingga data mengganggu orang lain ), dan dilakukan dengan amal perbuatan. Contohnya adalah, kita berniat untuk shalat. Hatinya berniat untuk shalat, lisannya mengucapkan niat untuk shalat dan tubuhnya melakukan amal shalat. Demikian juga apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras. 
Niat semakna dengan maksud dan keinginan hati yang mempunyai makna:
·         Membedakan salah satu ibadah dengan ibadah yang lain
Misalnya, orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu & sama-sama 4 raka'at , maka untuk membedakan ini sholat dhuhur & itu sholat asyar adalah dengan niat.
·         Membedakan ibadah dengan adat kebiasaan
Mandi , mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah , maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum'at.
·         Membedakan yang dituju dalam ibadah.
Kita masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka'at , ada kemunkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah qobliyah ( sunnah rawatib ) untuk membedaknya adalah dengan niat, dsb.
Hakekat niat adalah menguasai diri dalam beramal agar tidak mengharap pujian manusia. Sedangkan tempatnya niat adalah dalam hati bukan di lidah dan tidak dilafalkan.
7. Status niat
Berawal dari sudut pandang yang berbeda, fuqoha berbeda pendapat mengenahi status niat dalam ibadah. Ada yang mengatakan bahwa niat adalah rukun oleh mereka yang mengaitkan niat sebagai keharusan penyebutan di awal ibadah. Tentu sangat berbeda dari apa yang disamaikan oleh ulama lain. Berikut kutipan pendapat ulama mengenahi status niat.
·         Al Qadli abu Thayyib dan Ibnu Shabbagh
Niat adalah syarat, karena apabila tidak dikatakan syarat-akan dikatakan rukun-tentu niat akan membutuhkan niat lagi dan begitu seterusnya ( tasalsul ).
·         Al Rafi’i dan al Nawawi
Niat adalah rukun dalam shalat, sedang dalam puasa adalah syarat.
·         Al Ghazali
Dalam puasa, niat merupakan rukun sedangkan dalam shalat adalah syarat.
Taqiyuddin al Hishni berusaha menanggapi perbedaan in dengan mencoba memadukannya dalam ungkapan berikut : “ Setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan rukun dalam pekerjaan itu. Contohnya shalat, yang tidak akan bisa sah bila didirikan tanpa niat. Sedangkan satu pekerjaan yang bisa sah tanpa niat, tetapi untuk mendapat pahala masih tergantung pada niat, seperti halnya perbuatan-perbuatan mubah atau meninggalkan maksiat yang ditujukan untuk beribadah , maka niat dinamakan syarat, dalam hal ini syarat mendapat pahala.
8. Waktu pelaksanaan niat
Secara umum, pelaksanaan niat adalah diawal ibadah. Ini adalah hasil penelitian ulama yang mengatakan bahwa huruf “ ba” yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah ( membersamakan ). Ini menunjukan bahwa niat adalah bagian dari amal ( perbuatan  ) itu sendiri, kerenanya tidak boleh mendahulukan atau mengakhirkan niat dari amal yang akan dikerjakan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mendahulukan niat dari amalnya karena factor kesulitan dalam pelaksanaannya. Berikut adalah beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena factor kesulitan membersamakan dengan permulaan pengerjaannya.
·         Puasa wajib
Sebenarnya niat puasa wajib dilakukan pada awal pelaksanaannya, yaitu bersamaan dengan munculnya fajar shidiq. Akan tetapi karena factor kesulitan menentukan kemunculannya, syariat memberikan kebijakannya.
·         Menyembelih qurban
Ulama membolehkan mendahulukan niat sebelum penyembelihan hewan qurban, seperti halnya dalam masalah zakat dan puasa.
9. Hal-hal yang membatalkan niat
·         Riddah ( murtad ), yaitu keluar dari agama islam baik karena niat, ucapan dan perbuatan yang menyebabkan kufur.
·         Berniat memutus ibadah yang sedang dikerjakan
·         Niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain. Contoh, mengganti shalat fardlu dengan shalat fardlu yang lain. Maka keduanya tidak sah.
·         Tidak mampu melaksanakan ibadah yang telah diniati
Dalam hal ini memungkinkan terjadi tiga kemungkinan, yaitu :
Ø  Ditinjau dari sudut pandang akal
Artinya secara akal sehat dia tidak mampu untuk melakukan dua hal yang berlawanan dengan niat bersamaan. Contoh, berwudlu dengan niat untuk mendirikan shalat sekaligus tidak mendirikan shalat secara bersamaan.
Ø  Ditinjau dari segi syariat
Wudlu dengan niat untuk shalat ditempat yang najis
Ø  Ditinjau dari kebiasaan umum
Wudlu di bulan shafar untuk melaksanakan shalat hari raya idul fithri
10. Syarat-syarat niat
·         Islam
·         Tamyiz ( dapat membedakan baik dan buruk )
·         Mengetahui terhadap yang diniati
·         Tidak ada sesuatu yang merusak niat
Demikian adalah sedikit penjelasan tentang niat dalam lingkup ibadah. Sebenarnya, masih banyak yang perlu dibahas dalam bab ini. Tetapi yang tidak kalah pentingnnya adalah kita tahu bahwa niat tidak hanya berlaku dalam lingkup ibadah saja tetapi pelaksanaan niat diluar ibadah juga tidak luput dari kaidah ini, al umuuru bimaqhosidiha. Wallahu a’lam

C. DAFTAR PUSTAKA
Haq, Abdul dkk, Formulasi nalar fiqh telaah kaidah fiqh konseptual, Surabaya: Khalista, 2006
Schacht, Joseph, Pengantar hukum islam, terjemah oleh Joko Supomo, Bandung: Nuansa, 2010
Wikipedia bahasa Indonesia