Senin, 29 Agustus 2011

TUGAS RESUME USHUL FIQH, Hukum Taklifi dan Wadh'i


MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
Islam, sebagai agama samawi memiliki aturan-aturan hukum yang mengikat penganutnya untuk mematuhi perintah dan larangan yang telah ditentukan di dalamnya. Hal ini sesuai demi meningkatkan kwalitas hidup seorang hamba dalam pengabdiannya kepada Tuhannya YME ( vertical ), dan kwalitas kehidupan social bermasyarakat ( horizontal ). Pada dasarnya, pensyari’atan hukum –hukum tersebut hanya berlaku pada tindakan praktis para muslim dewasa ( baligh ), baik selaku pribadi ( aturan yang berkait dengan budi pekerti ) maupun masyarakat. Akan tetapi ada tiga golongan orang yang terlepas dari ikatan ini, yaitu orang yang tertidur, anak kecil dan orang gila.
Adapun bidang-bidang yang termasuk dalam aturan hukum islam, yaitu :
1.       Hubungan manusia dengan penciptanya
Termasuk di dalamnya adalah ibadah mahdloh ( ibadah qosihirah ) yang mencakup rukun islam yang lima dan rukun iman yang enam. Mahdloh artinya ibadah yang semata-mata karena Alloh sebab hanya terbatas pada lingkup pengabdian seorang kepada sang Kholik ( qoshiroh ) sebagai refleksi dari pengakuan yang telah diikrarkan dari awal sholat, “ sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh sang penguasa alam”.
2.       Hubungan manusia dengan sesamanya ( Mu’amalah )
Mu’amalah artinya pergaulan, yaitu hubungan antar manusia dalam social bermasyarakat, sebagaimana adat orang arab mengatakan “ Agama itu pergaulan “ dan sabda Nabi SAW, “ Sebagaimana kamu bergaul, begitu pula kamu dipergauli “. Islam sangat menjunjung tinggi terciptanya kemaslahatan manusia sebagai tujuan pokok dari pensyari’atan hukum. Hal ini mencakup lima point penting, yaitu : Memelihara kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa raga, kemaslahatan akal manusia, kemaslahatan perkembangan keturunan manusia, dan memelihara kemaslahatan harta benda.
Secara umum, aturan hukum dalam syariat islam terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi ( hukum untuk penugasan ) dan hukum wadh’i ( hukum kondisional ). Kedua macam hukum ini akan penulis urai dalam pembahasan berikut ini.
A. HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan atau pekerjaan. Untuk contoh yang sederhana adalah shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji jika telah mampu, tidak boleh mencuri, tidak boleh membenci orang dan sebagainya. Dari ketiga pilihan di atas, para ahli ushul fiqih membagi lagi hukum taklifi menjadi lima kategori, yaitu :
1.      Wajib
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Seperti sholat lima waktu, zakat Fitrah, zakat mal, puasa wajib dan lain-lain. Selanjutnya, wajib ini terpilah lagi menjadi Sembilan criteria yang masing-masing memiliki peran dan ketentuan yang berbeda.
a.       Wajib Mu’ayin (Mukhaddat) : hukum yang sudah jelas dan tentu aturan dan tata-caranya serta seberapa besar kadar-nya, misal : Sholat,Zakat,dll
b.       Wajib Ghoiru Mukhaddat : hukum yang tidak jelas tata caranya dan seberapa besar jumlah dan kadarnya, misal infaq, sodaqah, dll
c.       Wajib Mukhoyir : hukum yang harus memilih dari beberapa pilihan dan jika sudah terpilh dan dilaksanakan maka yang lain dianggap hilang.
d.       Wajib Mudloyaq (Muaqqot) : hukum yang sudah jelas syariatnya (hampir sama dengan Mu’ayin) hanya disini berdasarkan aturan pelaksanaan, misal : jadwal sholat, jadwal puasa.
e.       Wajib Mutlak : hukum  yang aturan pelaksaannya tidak ditentukan dengan pasti,tapi wajib dikerjakan seperti : naik haji
f.        Wajib Yunaqqis : hukum yang mengatur aturan syariat bagi yang berhalangan melaksanakan kewajiban, misal wanita haid yang wajib melaksanakan sholat setelah haid berhenti secara langsung, misal ashar jam 3 dan mahgrib jam 5.30, dan wanita haid berhenti jam 5, maka sisa 30 menit adalah wajib sholat (wajib Yunaqqis).
g.       Wajib Muwasi : hukum yang mengatur kelebihan waktu, tapi tetap harus dikerjakan dalam kurun waktu tersebut, misal waktu sholat ashar 2,5 jam tepatnya jam 3 hingga 5.30, sedangkan lama sholat misalnya 20 menit, maka sisa 2,1 jam adalah wajib muwasi, dimana toleransi waktu tersebut dikhususkan kepada kita yang sedang berhalangan tanpa disengaja.
h.       Wajib Ain : hukum yang meng-khususkan siapa yang melaksanakannya, sesuai syariat misal sholat jum’at adalah wajib buat kaum laki-laki, sunnah buat kaum perempuan.
i.         Wajib Kifayah : hukum yang tidak meng-khususkan siapa pelaksananya sesuai syariat dengan kata lain wajib dilaksanakan untuk umum, misal memandikan jenazah, bila satu muslim mengerjakan maka yang lain tidak wajib memandikan, namun bila tidak ada satu-pun yang memandikan, maka semua penduduk menanggung dosa.
2.     Sunnah
Adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan tidak akan mendapat apa-apa. Seperti sholat sunnah, puasa senin-kamis, infaq, dll. Terbagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.       Sunnah Hadyi, yaitu hukum sunnah sebagai penyempurna hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. Contoh adzan, sholat berjamah dan lain-lain.
b.       Sunnah Zaidah, yaitu hukum sunnah yang dikerjakan  sebagai sifat terpuji bagi muslim karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. Seperti makan, minum, tidur dll.
c.       Sunnah Nafal, yaitu hukum sunnah sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. Seperti sholat sunnat.
d.       Sunnah Muakad, yaitu hukum sunnah yang dianggap mendekati hukum wajib, misal sholat tarawih, sholat idul fitri, sholat idul adha, dll.
3.     Halal dan Haram
Halal, Sesuatu hal yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah sesuatu hal yang tidak diperbolehkan. Biasanya yang terkait dalam hal ini adalah makanan seperti darah, bangkai binatang darat, babi, anjing, dan beberapa makanan yang dianggap oleh MUI  atau tokoh ulama indonesia haram. Haram terbagi menjadi dua criteria, yaitu :
a.       Haram mutlak, yaitu hukum yang mengatur apa saja yang dilarang sesuai al-Qur’an dan al-Hadits seperti zina, mencuri, berjudi, makan makanan yang dilarang oleh agama.
b.       Haram ghoiru, yaitu hukum yang mengatur apa saja yang dilarang dari asal atau akhir hal tersebut diperoleh. Misal, amal dimasjid tapi hasil mencuri, makan makanan halal tapi hasil dari korupsi, atau amal baik yang dipamerkan (riak).
4.     Makruh
Sesuatu hal yang dikerjakan tidak mendapat apa-apa namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Misalnya, orang yang diam lebih baik dari pada orang yang banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
5.     Mubah
Sesuatu hal yang dikerjakan atau tidak dikerjakan  tidak mendapat apa-apa , seperti mandi, makan, minum, dll.
B.HUKUM-WADH’I
Yaitu hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh, hukum waris. Berdasarakan penelitian di peroleh ketetapan, bahwasannya hukum wadh’i  adakalanya menghendaki untuk menjadi suatu syarat bagi sebab sesuatu yang lain atau menjadi penghalang atau menjadi pemboleh adanya rukshah ( keringanan hukum ) sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau tidak sah. Hukum jenis wadh’i terbagi menjadi lima kategori, yaitu :
1.     Sebab
Sebab ialah sesuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musababnya dengan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabah dengan ketiadaannya. jadi, dari keberdaan sebab , maka di tetapakan adanya musabab dan dari ketiadaan sebab itu di tetapkan ketiadaannya. dengan demikian, sebab merupakan hal yang zhahir ( nyata ) dan pasti yang di jadikan oleh syar’i sebagai alamat atas hukum syara’, yaitu musababnya. Dari keberadaan sebab itu, di peroleh ketetapan keberadaan musaba, dan dari ketiadaannya, maka di peroleh ketetapan mengenai ketiadaan musabab itu.

Macam-macam sebab :
Sebab, terkadang menjadi hukum taklifi, seperti waktu yang di jadikan oleh syar’i sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan shalat, karena firman Allah SWT: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”. ( Q.S, Al Isra 78 )

Dan sebagaimana menyaksikan bulan ramadhan, di jadikan syar’i sebagai sebab bagi perwajiban puasa ramadhan, berdasarkan firman Allah SWT : “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tinggalnya ) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S, 2 Al-baqarah:185)

Kadangkala sebab menjadi sebab bagi penempatan kepemilikan, atau halangan, atau menghilangkan kedua-duanya. Sebagaimana jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkannya, talaq untuk menghilangkan kehalalannya, dan wala’ untuk menentapkan hal pewarisan, pengerusakan harta orang lain untuk menetapakan kewajiban mengganti rugi atas orang yang merusakkan, dan persekutuan atau pemilik untuk penetapan hak syuf’ah ( menutup harga barang yang di jual ). Terkadang sebab juga merupakan suatu perbuatan mukallaf yang di kuasainya, seperti pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja menjadi sebab adanya penganiayaan terhadapnya, kadang kala, sebab merupakan hal yang di luar kekuasaan mukallaf dan tidak termasuk perbuatannya, sebagaimana masuknya waktu adalah sebab bagi pewajiban shalat.

2.     Syarat
Syarat ialah suatu yang keberadaan hukumnya tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaanya sesuatu itu di peroleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang di maksudkan adalah keberadaannya secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Syarat merupakan hal yang di luar hakekat sesuatu yang di syaratkan. Ketiadaan syarat menetapkan ketiadaan yang di syaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang di syaratkan. Contohnya adalah,

Wudhu adalah syarat bagi keabsahan mendirikan shalat. Shalat apabila tidak ada wudhu, maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.

Syarat-syarat syar’iyyah adalah yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efek timbul padanya. Misalnya pembunuhan merupakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezaliman.
Pebedaan antara rukun dan syarat sesuatu, masing-masing dari keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum. Bahwasannya rukun merupakan bagian dari hakikat sesuatu, adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakikatnya, dan bukan termasuk bagian-bagiannya. Misalanya ruku’ adalah rukun shalat, karena ia adalah bagian dari hakikat shalat, sedangkan bersuci adalah syarat shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakeket shalat.

3.     Mani’
Adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab. Mani’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih adalah sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat- syaratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya. Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka, meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya. Suatu penghalaang terkadang menjadi mani’ terhadap keberadaan sebab syar’i, bukan timbulnya hukumnya, sebagai utang bagi orang yang memiliki senishab harta zakat. Sesungguhnya hutang itu menghalangi terhadap keberadaan sebab bagi pewajiban zakat atas dirinya, karena harta kekayaan orang yang berhutang seakan-akan bukanlah miliknya dengan suatu pemilikan yang sempurna.

4.     Rukhshah dan ‘Azimah
Rukshah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud memberikan keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang menghendaki keringanan ini.

‘Azimah ialah hukum-hukum umum yang disyariatkan dari semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada suatu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf lainnya.

Macam-macam rukhshah:

Diantara rukshah ialah pembolehan hal-hal yang dilarang dalam keadaan darurat atau kebutuhan. Misalnya, seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan “ kufr” dia diperbolehkan mengucapkan kalimat itu sebagai keringanan, dan hatinya tetap tenang dengan imannya. Rukshah juga membolehkan meninggalkan wajib apabila ada uzur ( alasan ) yan membuat pelaksanaan memberatkan pada mukallaf, barang siapa yang berada dalam keadaan sakit atau berpergian pada bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan berbuka puasa. Para ulama hanafiyah membagi rukhshah kepada dua criteria, yaitu :
Ø  Rukhshah tarfih ( peringanan )
Hukum azimah masih tetap bersamanya dan dalilnya juga mesih tetap. Akan tetapi diberikan rukshah untuk meninggalkanya sebagai suatu peringatan pada mukallaf, mereka mencontohkan hal ini : orang yang dipaksa untuk melafazdkan kata”Kufur”, atau merusak harta orang lain, atau berbuka puasa pada bulan ramadhan.
Ø  Rukshah isqath ( pengguguran )
Hukum azimah tidak lagi bersamanya, bahkan  sesungguhnya keadaan yang mengharuskan peringatan telah  menggugurkan hukum azimah, dan hukum yang disyariatkan adalah rukshah. Mereka mencontohkan perbolehan memakan bangkai atau meminum khamar ketika kelaparan dan kehausan,dan mengqashar shalat dalam perjalanan.

5.     Sah dan batal
Sah menurut syara’ ialah timbulnya berbagai konsekuensi secara syar’iyyah atas perbuatan itu. Jika itu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan perbuatan yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapatkan hukuman didunia, serta mendapatkan pahala di akhirat.

Batal adalah tidak timbulnya konsekuensi yang bersifat syara’. Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah wajib, maka ia tidak gugur darinya dan tanggungannya tidak terbebas darinya.

Bahwasannya perbuatan, sebab dan syarat yang muncul dari mukallaf dan tidak sesuai dengan apa yang di tuntut oleh syar’i atau apa yang disyariatkannya, maka ia tidak sah. Menurut syara’ dan konsekuensi hukumnya  tidak timbul padanya, baik ketidaksahannya tersebut karena rusak pada salah satu rukunya atau ketiadaan salah satu syaratnya, baik perbuatan tersebut adalah ibadah, akad ataupun tindakan hukum.
Setiap perbuatan dan keadaan dalam hukum islam dapat ditentukan hukumnya, perbuatan atau keadaan tersebut ditempatkan di dalam salah satu penggolongan hukum. Perbuatan orang yang dimaksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang menurut istilah disebut mukallaf. Menurut para ahli ushul fiqih, ketaatan pada kedua macam hukum ini adalah wujud kesadaran beragama umat islam. Demikian ringkasan kecil ini saya buat semoga ada guna dan manfaatnya. Wallahu a’lam
Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar